Minggu, 11 Januari 2009

Amartya Sen, Hidup dan Karya

Identity and Violence: bahasan dan catatan


Introduksi
Buku yang dibahas mempunyai judul “Identity and Violence, The Illusion of Destiny”, ditulis oleh penerima anugerah Nobel Ekonomi tahun 1998, Amartya Sen, London 2006, Allen Lane. Baik judul maupun isi dapat dikatakan amat provokatif, apalagi ditulis oleh seseorang yang analitis seperti Amartya Sen. Ciri provokatif ini akan semakin terbaca jika kita mengamati komentar-komentar publik atas buku sebagaimana yang direkam oleh website amazon. Isinya sendiri dapat dikatakan tidak menjadi satu karya yang selesai, tapi lebih sebagai sebuah karya yang mengangkat kebaruannya (ciri yang sering disebut non-exhaustive). Jika kita membaca buku ini maka kita akan teringat dengan banyak karya dari penulis multikulturalisme, seperti Will Kymlicka dan Charles Taylor.
Bahasan di bawah ini akan berusaha untuk menjabarkan pokok gagasan, dan juga catatan atas gagasan itu. Bahasan juga akan berusaha mengungkap relasi antara gagasan dan konteks sejarah sebagaimana yang ada pada Amartya Sen.


Alur gagasan
Cara paling mudah untuk melihat alur gagasan dalam buku ini adalah dengan melihat daftar isi. Buku ini mempunyai daftar isi sebagai berikut:

Bab I : The Violence of Illusion (Kekerasan yang berasal dari ilusi)
Bab II : Making Sense of Identity (memikir ulang identitas)
Bab III : Civilizational Confinement (pengurungan peradaban)
Bab IV : Religious Affiliation and Muslim History (afilisasi religi dan sejarah muslim)
Bab V : West and Anti-West (barat dan anti-barat)
Bab VI : Culture and Captivity (kebudayaan dan kungkungan)
Bab VII : Globalization and Voice (globalisasi dan seruan)
Bab VIII : Multiculturalism and Freedom (multikulturalisme dan kebebasan)
Bab IX : Freedom to Think (kemerdekaan berpikir)


Memahami Amartya sen dan karya Identity and Violence
Jika seseorang yang amat analitis kemudian mengambil langkah untuk membuat tulisan yang bersifat ‘aksi’, maka akan ada 2 reaksi. Pertama, reaksi yang bersifat kikuk mengenai bagaimana mesti menanggapi. Kedua, kritik, dan seringkali kecaman. Reaksi ini timbul, misalnya, juga pada Anthony Giddens. Ia menulis mengenai konsep modernitas dan teori strukturasi yang seminal, tetapi pada suatu titik ia menulis “the Third Way” yang bersifat ‘aksi’. Kedua ragam reaksi ini bermunculan.
Sebagai langkah awal, Sen sepertinya sadar benar akan situasi ini, maka dia berusaha membuat definisi mengenai identitas secara lebih disiplin. Rumusan yang ia pakai bersifat filosofis dan sosiologis. Rumusan ini menepis anggapan bahwa ia jatuh pada penulisan pamflet. Rumusan yang ia jabarkan dalam bab II (Making sense of identity) dan bab III (Civilizational Confinement) dapat dikatakan mengusahakan kecukupan ilmiah.
Namun, sebagaimana kita lihat dalam banyak karya Sen mengenai wilayah sub-kontinen (India, Pakistan, Bangladesh, Sri Lanka, Bhutan, Nepal, dan tetangga mereka seperti Afghanistan dan Burma), Sen menyebut latar belakang kehidupannya sebagai suatu penanda penting. Ia tidak ragu-ragu menyebut bahwa pendidikan awal yang ia jalani tidaklah membedakan mana pendidikan ilmu dengan etika dan sastra (Ia menjalani pendidikan di perguruan yang diasuh oleh Rabindranath Tagore). Ini membuat ilmu yang ia punyai mempunyai sifat manusia, dan juga secara langsung didorong untuk mengembangkan kemanusiaan. Ia mempunyai kegelisahan yang sama dialami oleh Tolstoy, tetapi ketika masuk pada tataran aksi, Sen jelas lebih produktif dan lebih strategis.
Corak proses kreatif seperti inilah yang kemudian memunculkan 2 karya yang mempunyai corak berbeda, meski sebenarnya keduanya mempunyai ciri kemanusiaan yang kuat. Dalam karya “Rationality and Freedom”, kita akan dipusingkan dengan rumusan-rumusan matematik, filsafat (termasuk logika), dan analisis spasial, tetapi dalam “Identity and Violence”, ia memakai bahasa yang menyala-nyala, bersifat langsung, dan di sana-sini memunculkan kemarahan.


Identitas dan Kekerasan: Dunia sub-kontinen sebagi dasar berpijak
Ungkapan yang paling menyolok Sen dalam upaya memerangi stereotipe adalah bahwa ia menyebut bahwa India adalah plural, dan bukan Hindu. Ia menyebut kaisar Mughal yang muslim dan membuat sub-kontinen menjadi kekaisaran yang damai. Di lain sisi, Sen juga mengkritik pendekatan penguasa atau tata aturan yang justru ahistoris dengan memunculkan kategori agama. Sejarah dekolonisasi India dan Pakistan (dan Bangladesh) pun sebenarnya penuh darah karena ada pendekatan jenis ini. Lebih buruknya lagi, Sen menyebut soal kasta (dalam Hindu) yang semakin mempertajam kritik.
Sen merumuskan bahwa identitas itu tidaklah monolitik, melainkan berlapis dan dapat mengalami duplikasi. Sen mengajak orang untuk memahami “pihak lain (mohon maaf kepada pembaca karena saya memakai ungkapan bahasa Jawa yang amat pas untuk ini “liyaning liyan”). Identitas yang tidak monolitik ini menguji manusia untuk memakai semua daya cipta manusia untuk menyelenggarakan kehidupan bersama. Hal ini dapat dibandingkan dengan dua cara (diantara ratusan cara) dalam memahami pihak lain. Pertama, menggunakan nalar. Memahami pihak lain memang butuh nalar, dan itu berarti upaya. Memahami pihak lain, dengan ini, adalah upaya terus menerus. Kedua, cara yang mudah yaitu tatapan mata. Salah satu alasan kenapa pembunuhan selalu mengandaikan orang yang emosional, atau kemabukan, atau selalu tidak berani memandang mata korban adalah karena jika manusia satu memandang mata manusia lain, maka dia akan melihat dirinya sendiri. Sederhana. Sejarah pembantaian besar, misalnya Bosnia-Herzegovina, menunjukkan bahwa pembantai mempunyai rasa gentar melihat mata korban, sehingga pembunuhan dilakukan dengan cepat.
Jika Sen mengaitkan identitas dengan kekerasan, hal itu berhubungan dengan 2 hal pokok, yaitu “Identity disregard” dan “Singular affiliation”. “Identity disregard” menunjuk pada pengingkaran identitas sebagai proses pertumbuhan, saling pengaruh, tindak dan nilai. “Singular affiliation” menunjuk pada anggapan bahwa setiap individu/orang terkait dengan satu pengelompokan kolektif saja. Di sini ada proses stereotipe, marjinalisasi, dan juga kekerasan halus.
Contoh yang ia pakai, lagi-lagi, adalah dunia sub-kontinen, terutama India. Tentu saja, Sen sadar benar akan konteks dunia, tetapi ia ingin menekankan segi pengalaman dan latar belakang-nya, sehingga paparannya menjadi sesuatu yang hidup dan nyata. Ia menghindari kategorisasi sekaligus karakterisasi yang dikembangkan, misalnya, oleh Samuel Huntington. Ia mengkritik kekerasan di India yang memakai identitas (:politik identitas) bukan hanya sebagai upaya perluasan pengaruh dan kekerasan, melainkan juga topeng untuk menutupi jatuhnya korban akibat kekerasan itu. India, ia menyebut, “…, that India, with more than 80 percent Hindu population, is led today by a Sikh prime minister (Manmohan Singh), and headed by a Muslim president (Abdul Kalam), with its ruling party (Congress) being presided over by a woman from a Christian background (Sonia Gandhi). Such mixture of communities can be seen in most walks of Indian life, from literature and cinema to business and sports, and they are not seen as anything particularly special”….


Kita bisa bandingkan misalnya dalam konteks Indonesia,

…“Tetapi ada beberapa masalah dalam mengidentifikasi Dayak, baik sebagai penganut animisme atau pemeluk agama Kristen. Pertama-tama, hal ini menimbulkan masalah pada identitas orang-orang Dayak yang sudah masuk Islam. Sellato (1989) mengklaim bahwa sekitar 90 persen orang Melayu pada mulanya adalah orang-orang Dayak yang telah masuk Islam. Coomans juga melaporkan bahwa banyak orang Kutai percaya, mereka adalah keturunan Dayak Tunjung, meski budaya Kutai telah dipengaruhi oleh banyak kebudayaan yang berbeda-beda termasuk deutero-melayu, India, Jawa, dan Bugis. Afiliasi keagamaanlah, dan bukannya kebudayaan yang membedakan mereka (Coomans, 1987:4). Coomans menulis bahwa pemeluk-pemeluk Islam di kalangan orang Dayak disebut ‘Halo’ (1987:4). Sellato (1989) menulis bahwa istilah Dayak merupakan panggilan atau gelar untuk menghina, yang digunakan oleh penduduk pesisir dan orang-orang Islam untuk menyebut penduduk bukit yang non-muslim.

Dengan demikian, batasan antara Dayak dan Melayu tidaklah terlalu tajam, dan pembatasan tentang ke-Dayak-an seseorang pun selalu berubah-ubah (misalnya, dulu orang-orang Dayak yang ingin memperoleh jabatan dalam birokrasi pemerintahan harus masuk Islam, dan dengan cara demikian mereka menjadi ‘orang Melayu’). Jadi, penggunaan istilah ‘etnis’ dalam konteks perbedaan agama adalah hal yang menyesatkan karena sebagian orang ‘Melayu’ menjadi bagian dari kelompok etnis atau kebudayaan yang sama dengan orang-orang Dayak.

Kerumitan lain adalah banyaknya orang Kristen di Kalimantan diidentifikasi bukan sebagai orang Dayak, melainkan sebagai sebagai orang Ambon atau Batik. Situasinya bertambah rumit dengan adanya agama Hindu Kaharingan yang dianggap eksklusif bagi orang Dayak, tetapi mempunyai kesejajaran-kesejajaran yang signifikan dengan agama Hindu Bali. Sebagaiman ditulis oleh Schiller, “sebelum berdoa, jemaat kadang-kadang diingatkan untuk melipat tangan mereka dalam postur ritual yang dianut oleh para pemeluk agama Hindu Bali” (1996:414)

Agama di Indonesia tetap menjadi penanda identitas yang penting. Tetapi sistem identifikasi keagamaan ini jelas merupakan sebuah konstruksi dalam pengertian yang menekankan pada perbedaan agama dengan mengabaikan hubungan-hubungan sosial, politik, dan budaya yang melintasi batas-batas komunitas agama yang berbeda-beda. Sillander, contohnya, berbendapat bahwa afiliasi agama adalah bagian yang sangat penting dalam identitas Dayak (1995:86). Tetapi, afiliasi agama itu saja tidak bisa membedakan Dayak dari non-Dayak. Berpendapat bahwa Dayak adalah suatu identitas religius berarti mengabaikan karakteristik-karateristik sosial dan politik yang sangat sentral dalam kajian-kajian antropologis.”…

(dalam DR. Yekti Maunati, 2004, Identitas Dayak: Komodifikasi dan Politik Kebudayaan, Cetakan Kedua 2006, LKiS, Yogyakarta)


lalu mengapa tetap terjadi kekerasan
Sen berujar bahwa menggunakan identitas sebagai pintu masuk dan mesiu untuk kekerasan semakin hari semakin dianggap lumrah. Penjelasan ini berangkat dari India, dan kemudian menunjuk pada beberapa gejala di dunia. Hal yang paling menyolok dalam proses ini adalah bagaimana menggunakan identitas sebagai upaya radikalisasi pandangan-ke-dalam. Upaya radikalisasi ini bertemu dengan situasi dunia (:globalisasi) yang, harus diakui, juga mengalami pembelahan (divisive).
Namun, lagi-lagi, Sen dengan cerdas membuka kedok mereka yang menggunakan globalisasi untuk radikalisasi ke dalam. Sen menjabarkan bahwa bagaimanapun setiap manusia, atau setiap kelompok manusia menyerukan posisi mereka terhadap dunia. Ini berarti tidak ada moral yang bersifat tertutup –karena kalau tertutup, mengapa harus berseru kepada dunia?. “Kelompok anti-globalisasi”, begitu Sen, justru menjadi penanda penting bahwa moral itu sifatnya universal, seperti solidaritas dan upaya perjuangan keadilan dan kemakmuran.
Muncul lagi perdebatan bahwa jurang kaya miskin memunculkan “Barat dan anti-Barat”. Sen dengan ini mengarahkan kritiknya sekaligus pada semua kelompok. Misalnya, ia menunjuk Inggris. Inggris adalah negeri yang paling sukses dalam memperjuangkan multikulturalisme (dan Inggris menjadi negeri pertama di dunia yang secara legal menghapus diskriminasi dan perbudakan), tetapi di tahun ’80-an, Inggris bergerak menunjuk ‘monokulturalisme’ (yang kemudian diperbaiki lagi oleh pemerintahan Partai Buruh sejak tahun 1997. Inggris adalah satu-satunya negeri di dunia yang membuat penanda publik dalam beberapa bahasa sekaligus selain inggris, yaitu hindi, cina, urdu). Namun, monokulturalisme ini mengarah menjadi norma umum dunia, termasuk dengan tema “Perang melawan teror”.


Sen dan keterbatasannya
Sen tidak mengatakan soal keterbatasannya, tapi ia jelas mengakui bahwa ranah publik dan politik (suatu tema yang juga diperjuangkan oleh pemikir lain seperti Jurgen Habermas untuk menjadi wahana humanisasi) adalah ruang yang liar. Menunjuk identas lagi, misalnya, ia telah memberikan penjabaran secara filosofis dan sosiologis. Tapi problem birokrasi, atau analisis publik misalnya secara sengaja menunjuk individu pada ciri primordial. KTP (Kartu Tanda Penduduk) dan polling misalnya menjadi alat kontrol yang dapat saja mengarah pada kekerasan. Untuk konteks KTP, konflik Aceh menjadi saksi, dimana KTP tidak hanya ditandai dengan agama, melainkan juga dengan warna bendera, yang hal ini semakin memperpanjang dan memperumit kekerasan di tingkat masyarakat.
Rumusan Sen, “a possible world” menunjuk pada semangatnya untuk terus menggali upaya. Seperti telah disebut di atas, buku ini bersifat non-exhaustive. Penjabaran filosofis dan sosiologis telah dipenuhi, dan lapangan publik masih amat terbuka pada agenda publik. Sen membuka jalan, sedang jalan yang ada inilah yang perlu diperjuangkan. ■


naskah oleh henry simarmata

Amartya Sen, Hidup dan Karya

Amartya Sen, Hidup dan Karya
-Ekonomi Kesejahteraan

Mungkin terkesan membesar-besarkan untuk menyatakan bahwa ‘welfare economics’ sinonim dengan Amartya Sen, tetapi kenyataannya sedikit saja ahli ekonomi yang sejauh ini terlibat dalam bidang ini, lebih-lebih yang bisa menandingi apa yang telah dilakukan oleh Sen. Sen sering disebut sebagai peraih nobel abadi, karena telah masuk dalam daftar favorit untuk dipilih sebagai peraih nobel sebanyak 7 kali, dan akhirnya dianugerahi nobel pada tahun 1998. Sen adalah sedikit dari akademikus modern yang dihormati dan diakui oleh sederet ilmuwan lain dari berbagai disiplin ilmu.

Sen Adalah murid dari Joan Robinson di Cambridge. Sen merubah akar ilmunya menuju teori Social Choice dan Economic Development –meruntuhkan tembok pemisah antara ‘teori murni’ yang matematis dengan ekonomi ‘dunia nyata’. Usaha Sen dapat dipahami: ekonomi petani dan kerumahtanggaan yang ia pelajari seringkali kontradiktif dengan apa yang diandaikan dalam ‘hedonis rasional’ yang seringkali dipakai sebagai dasar pijak dalam teori ekonomi. Secara khusus, usaha ekonomi kolektif tertentu (misalnya dalam masa panen) seringkali kontradiktif dengan rasionalitas individu. Dalam pola ini, Sen sering memakai ‘game theory’ (note: misalnya yang dipaparkan oleh John Nash) yang mampu menerangkan tata-tindak kolektif.

Problem yang berusaha ia pecahkan dalam risetnya, bagaimanapun, asumsi umum dalam ‘ekonomi kesejahteraan yaitu mengenai pelayanan sosial yang tidak berimbang dalam pola antar-personal. Deskripsinya yang terkenal di tahun 1970, Collective Choice and Social Welfare, adalah titik pijak penting dalam memunculkan “Arrow Impossibility Theorem”. Tanpa hal tersebut, Sen berargumen, theorem itu akan runtuh; tapi dengan hal tersebut, theorem itu menjadi omong kosong.

Dalam karya lain yang terkenal (1970), Sen merubah pola pandang metodologinya mengenai Pareto-optimality criteria- berargumen bahwa asumsi Pareto-optimality dalam teori kesejahteraan tidaklah bebas nilai, tetapi lebih menjadi kontradiksi dengan apa yang dikemukakan oleh J.S. Mill sebagai ‘liberalisme’, karena Pareto tidak memberikan jaminan terhadap ‘ruang pribadi’.

Sen bukanlah pemikir yang berjarak. Di tahun 1972, ia bersama dengan ilmuwan lain menyusun suatu panduan PBB mengenai evaluasi proyek pembangunan yang terbukti amat penting bagi banyak organisasi. Karyanya mengenai kemiskinan, termasuk pandangan teoritis yang tidak terhitung, terbukti amat penting dalam banyak aplikasi.

Dalam karyanya, Development as Freedom, Sen seolah membuat manifesto, dengan paduan ekonomi dan filsafat, yang hendak merumuskan freedom (kebebasan): kebebasan adalah agen pembangunan universal sekaligus juga adalah tujuan dari pembangunan. Sen menunjuk bahwa, diantara sekian banyak hal, tidak pernah ada kelaparan di negara dengan demokrasi yang berfungsi, dengan membuat perrbandingan negara, antara lain India modern, Botswana, dan Zimbabwe (pemerintah yang berjalan secara demokratis akan terdesak untuk menjawab tuntutan masyarakat, tidak seperti penguasa kolonial atau tiran). Pendapatan per kapita yang tinggi tidak secara otomatis membuat kehidupan manusia semakin baik (seperti pada penduduk miskin di Kerala, India, mempunyai angka harapan hidup (umur) yang lebih tinggi daripada penduduk Afro-Amerika di Amerika Serikat). Di banyak bagian di dunia, ketaksetaraan gender menyebabkan rasio pria-perempuan menjadi terdistorsi (sehingga ada “wanita yang hilang”). Sen melakukan analisis serangkaian pertimbangan dan menawarkan sintesis yang layak untuk dipikirkan secara sungguh-sungguh mengenai ekonomi kesejahteraan (welfare economics), prinsip-prinsip politik, dan etika. Ia melontarkan pertanyaan mendasar, menantang asumsi umum, dan menghantam banyak hal yang dipandang justru merintangi kebebasan. Pernyataan seperti “pendapatan yang rendah jelas merupakan penyebab kemiskinan” dianggap terlalu menyederhanakan masalah. Bagi Sen, ada penyebab yang lebih mendasar mengapa terjadi keterbelakangan. “Pembangunan Manusia (Human Development) adalah sekutu bagi masyarakat miskin”, Sen menyatakan. Ini adalah indikasi kuat bahwa dalam dunia yang kita huni ini guru sekolah dan perawat merasa terancam oleh konservatisme-finansial, lebih daripada jenderal militer. Sen mengangkat gagasan banyak tokoh, dari Aristoteles sampai Rabindranath Tagore, dari Confucius sampai Bentham. Deskripsinya juga merupakan tinjauan atas pemikiran sejawatnya pada jaman ini, dan juga penilaian kembali atas Adam Smith, namun yang lebih penting, deskripsinya menyerang banyak praktisi kebijakan. Sen meyakinkan bahwa nilai dan guna Kebebasan sangatlah penting dalam pembangunan ekonomi.
_______________________

Amartya Sen adalah seorang filosof dan ekonom terkenal dari Harvard. Pada tahun 1998, dia dianugeraghi Penghargaan Nobel untuk Ekonomi untuk kontribusinya dalam ‘Welfare Economics’ (Ekonomi Kesejahteraan). Royal Swedish Academy of Sciences (Akademi Ilmu Kerajaan Swedia) menyatakan dalam pernyataannya bahwa karya Sen memberikan kontribusi yang besar dalam teori ‘social choice’ (pilihan sosial), definis mengenai ‘welfare’ (kesejahteraan) dan kemiskinan, dan studi mengenai bencana kelaparan. Sen juga dianugerahi “Bharat Ratna”, sebuah penghargaan tertinggi India yang diberikan kepada warga negara India, atau yang berasal dari India.

Sen, lahir di Calcutta (atau Kolkatta), diberi nama oleh Gurudev Rabindranath Tagore. Ia menjalani pendidikan di Calcutta dan Cambridge, dan mengajar di lembaga prestisius seperti Delhi School of Economics, Oxford University, Cambridge University, The London School of Economics dan Harvard University.

Melambungnya nama Sen dalam dunia ekonomi dimulai tahun 1981 dengan karya pentingnya yaitu “Poverty and Famine: An Essay on Entitlement and Deprivation” (Kemiskinan dan Bencana Kelaparan: sebuah Esai mengenai Hak Layak dan Pencampakkan” yang menunjukkan bahwa kemiskinan tidak hanya diakibatkan oleh bencana alam, melainkan juga sesuatu yang bersifat bencana ekonomi dan politik yang sebenarnya dapat dicegah. Karya ini juga menyumbangkan sebagian provokasi pemerintah negara-negara di dunia untuk mengubah fokus mereka menjadi fokus pada upaya pencegahan dan penanganan bencana kelaparan.
Karya Profesor Sen dalam hal ketidaksetaraan dalam distribusi kesejahteraan juga menyumbang terbentuknya Program Pembangunan PBB, dan memunculkan Human Development Index yang juga disebut Sen Index.

Filosof ini juga menulis banyak buku dan artikel penting lain yang mengajukan argumentasi bahwa hak individu patut mendapatkan prioritas yang lebih besar daripada keberadaan material. Disebut “Economist’s Humanist” (seorang humanis dari para ekonom) dan “Conscience of our profession” (Simbol Kesadaran profesi ekonom), Amartya Sen telah menjadi ekonom bagi yang termiskin diantara yang miskin. Menurut dia, globalisasi tanpa memecahkan masalah dasar seperti tidak adanya kesempatan sosial, buta aksara, tidak adanya layanan kesehatan dan tidak adanya land-reform akan terus membuat ketaksetaraan ekonomi terus menjadi besar.
Sen adalah penerima dari 28 gelar doktor kehormatan dari seluruh dunia. Perhatiannya tidak pernah jauh dari keprihatinannya terhadap negerinya tercinta, India. Apakah itu politik, ekonomi, atau seni, ia terus melakukan usaha teratur untuk terus mempertajam fokus dari isu-isu yang terkait denagn negerinya. Ia adalah seorang yang amat percaya pada pluralisme, toleransi, dan tradisi sekular India, dan dengan ini dia amat sering menulis tema-tema ini secara elegan di media.

India kemudian menjadi amat percaya pada teori yang diperjuangkan dengan penuh semangat oleh Sen, dan kemudian karenanya India mendirikan India Development Service, yang telah berjalan selaam 25 tahun terakhir ini, dan telah memberikan dukungan pada lebih dari 100 ekonomi skala kecil, proyek pembangunan partisipatif, dan dengan ini Empowering the disenfranchised to become self-reliant (Memberdayakan mereka yang tercampak menjadi berdikari dan tahan jaman.) ■



Karya Utama:
- "On Optimizing the Rate of Saving", 1961, EJ
- "Distribution, Transitivity and LIttle's Welfare Criterion", 1963, EJ.
- "Preferences, Votes and the Transitivity of Majority Decisions", 1964, RES
- "A Possibility Theorem on Majority Decisions", 1966, Econometrica.
- "Labour Allocation in a Cooperative Enterprise", 1966, RES
- "Peasants and Dualism with or without Surplus Labor", 1966, JPE.
- "Hume's Law and Hare's rule", Philosophy
- "Isolation, Assurance and the Social Rate of Discount", 1967, QJE.
- "Quasi-Transitivity, Rational Choice and Collective Decision", 1969, RES
- "Necessary and Sufficient Condition for Rational Choice Under Majority Decision", with P.K. Pattanaik, 1969, JET
- Collective Choice and Social Welfare, 1970.
- "The Impossibility of a Paretian Liberal", 1970, JPE
- "Interpersonal Aggregation and Partial Comparability", 1970, Econometrica.
- Guidelines for Project Evaluation with P.Dasgupta and S. Marglin, 1972.
- "Behavior and the Concept of Preference", 1973, Economica.
- On Economic Inequality, 1973.
- "Informational Bases of Alternative Welfare Approaches", 1974, JPubE
- "Liberty, Unanimity and Rights", 1976, Economica.
- "Welfare Inequalities and Rawlsian Axiomatics", 1976, Theory and Decision.
- "Poverty: An ordinal approach to measurement", 1976, Econometrica,
- "Social Choice Theory: A re-examination", 1976, Econometrica
- "Real National income", 1976, RES
- "On Weights and Measures: Informational constraints in social welfare analysis", 1977, Econometrica.
- "Rational Fools: A critique of the behavioral foundations of economic theory", 1977, Philosophy and Public Affairs.
- "Interpersonal Comparisons of Utility", 1979, in Boskin, editor, Economics and Human Welfare.
- "Personal Utilities and Public Judgments: Or what's wrong with welfare economics", 1979, EJ
- "Utilitarianism and Welfare", 1979, J of Philosophy
- "The Welfare Basis of Real Income Comparisons", 1979, JEL.
- "The Sexual Division of Labor and the Working Class Family", 1980, RRPE.
- Poverty and Famines: An essay on entitlement and depression, 1981.
- Choice, Welfare and Measurement, 1982.
- Editor, Utilitarianism and Beyond, with B. Williams, 1982.
- "Review of Bauer's Equality"
- "Liberty and Social Choice", 1983, Journal of Philosophy.
- Resources, Values and Development, 1984.
- "The Moral Standing of the Market", 1985, in Paul, Paul and Miller, editors, Ethics and Economics
- Commodities and Capabilities, 1985.
- "Social Choice Theory", 1986, in Arrow and Intiligator, editors, Handbook of Mathematical Economics, Vol. III.
- The Standard of Living, 1987.
- On Ethics and Economics, 1987.
- "Justice: Means versus Resources", 1990, Philos and Public Affairs
- "Markets and Freedom", 1993, Oxford EP
- Inequality Re-examined, 1995.
- "East and West: The Reach of Reason", 2000, New York Review of Books

Senin, 05 Januari 2009

call for paper

Call for paper
januari-februari-maret 2009


Selamat tahun baru 2009!

Selama bulan Januari-Februari-Maret 2009, penyelenggaraan kegiatan dan publikasi akan dikaitkan lagi dengan tema-tema yang sudah dinyatakan dalam pembukaan. Tema-tema itu menyangkut:

[1] Demokrasi, konstitusionalisme dan ruang publik
-perdebatan agama di ruang publik, kebijakan publik dan hukum dalam masyarakat yang beragam , perkembangan kemasyarakatan dan pilihan politik, konstitusionalisme: sejarah dan penerapan, indeks demokrasi, indeks kebebasan beragama

[2] Indonesia: kebangsaan, kerakyatan dan republikanisme
-genealogi pemikiran dan praktek politik Bapak Bangsa (founding fathers), lintasan sejarah format dan praktek republikanisme Indonesia, Pancasila sebagai ideologi terbuka, model kelembagaan negara kepulauan

Call for paper, apa maksudnya?
Rekan-rekan diundang untuk membuat tulisan mengenai dua topik di atas, dalam sebuah artikel, 5 halaman, 1 spasi, standard Times New Roman 12. Dua topik di atas memang amat luas, dan justru ini dibuka kembali seluas-luasnya.

Misalnya, tulisan yang dibuat adalah liputan dari pengalaman resolusi konflik, di sebuah kampung, yang itu menjadi kesaksian dalam mencari arti kebangsaan.

Misal yang lain, tulisan yang dibuat adalah mengenai sastra Indonesia yang memberikan sumbangan atas pengertian antar-masyarakat, atau yang mendorong semangat ‘altruis’.

Apakah itu nantinya tulisan menjadi sebuah kajian teoritik, sebuah catatan pengalaman, sebuah karya jurnalistik atau malah essai sastra, itu semua diserahkan kepada rekan-rekan.

Akan dipilih 3 tulisan, yang pada akhirnya akan dimasukkan dalam jurnal Pekik-Indonesia. Mereka yang terpilih, akan mendapat penghargaan dalam bentuk dukungan finansial.


Batas Akhir Pengumpulan
Batas akhir pengumpulan adalah 31 Januari 2009.
Naskah dikirimkan ke pekikpaper@gmail.com


Siapa yang berhak mengikuti?
Yang berhak mengikuti adalah semua mereka yang pernah menjadi peserta kursus Pekik-Indonesian angkatan pertama (yang diadakan di Plaza 1 Pondok Indah).


Informasi
Fachrurozi (021) 780 5527

Selasa, 23 Desember 2008

survei 1

Survei Analisis atas Pranata Ekonomi Indonesia: 5 tahun terakhir
Kertas Kerja Desember 2008
Pesantren Ilmu Kemanusiaan dan Kenegaraan (Pekik-Indonesia)


statement of activity
Pengerjaan survei ini adalah proses membuat deskripsi sederhana mengenai posisi berbagai pranata publik dan kemasyarakatan (institutions and organism) dalam ekonomi Indonesia, dampaknya terhadap kehidupan kemasyarakatan termasuk dalam soal pengentasan kemiskinan, dan legitimasinya dalam perkembangan pranata demokrasi Indonesia.


Kerangka Analisis: kebijakan publik dan pranata
Dalam praktek kebijakan publik, negara dan demokrasi (dengan lembaga perwakilannya) selalu mencari cara untuk mengembangkan potensi ekonomi suatu negara menjadi upaya penciptaan kemakmuran (well-being). Kebijakan publik menjadi suatu kunci dari negara untuk menjembatani berbagai potensi dan aspirasi dalam sosial-ekonomi menjadi suatu kenyataan.
Kebijakan publik ini kemudian dirumuskan dan dikelola dalam lembaga dan organisme. Inilah yang menjadi konsep kunci pranata. Dalam hal pranata, ada yang tetap seperti regulasi, kewenangan eksekutif, bank sentral, dan sebagainya. Namun, ada yang bersifat dinamis seperti situasi desentralisasi, daya beli masyarakat, kerja (employment) dan sebagainya.
Dalam 5 tahun terakhir, telah diupayakan pengembangan pranata untuk pengembangan ekonomi. Pada masa kepresidenan Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono, ada banyak yang berkembang. Perkembangan ini seringkali kontradiktif. Misalnya, jumlah orang miskin mengalami fluktuasi, dan pada saat yang sama layanan publik (public service) di beberapa kabupaten/kota mengalami perbaikan, dan sebagainya. Kertas kerja ini hendak mengupayakan penjelasan minimal mengenai hal tersebut.


Kerangka Pengerjaaan
[-] Survei sederhana dimaksudkan untuk membandingkan berbagai ‘temuan’ yang berkaitan dengan penjelasan soal siklus ekonomi dan ekonomi nasional dalam konteks globalisasi. ‘Temuan’ ini berhubungan dengan penjelasan [1] dari penghargaan nobel (nobel ekonomi dan nobel perdamaian), dari sintesa sejarahwan ekonomi dari Perancis, Inggris, AS, dan dari negara berkembang; [2] dengan penjelasan atas ekonomi Indonesia; dan [3] dengan model analisis atas kemiskinan. Berbagai ‘temuan’ itu menjabarkan ringkasan yang menarik mengenai pranata ekonomi.

[-] Survei ini hendak bertitiktolak berbagai penjelasan yang tampaknya saling bertentangan atas jalannya ekonomi Indonesia sejak Indonesia merdeka. Di pihak lain, penjelasan ini berhubungan dengan realitas ekonomi dan realita ekonomi yang melingkupi perjalanan sejarah itu. Survei ini kemudian hendak menelisik berbagai penjelasan itu.

[-] Survei ini secara terus-menerus akan menuliskan berbagai hal mengenai konteks makro-ekonomi, studi kasus ekonomi, dan pencermatan terhadap pranata ekonomi. Kertas konsultasi dimulai pada bulan Desember 2008, dengan dua kertas konsultasi utama, [1] review literatur mengenai pranata ekonomi, dan [2] koperasi sebagai suatu kasus dan praktek terbaik (best practice).


Rujukan studi (umum)
[-] Gunnar Myrdal, “American Dilemma: The Negro Problem and Modern Democracy” (1944), “Asian Drama: An Inquiry into Poverty of Nations and The Challenge of World Poverty” (1957).

[-] Studi Peraih Nobel: [1] Nobel 2008, Paul Krugman: Trade and Geography –Economies of Scale, Differentiated Products, and Transport Costs, [2] Nobel 2007, Leonid Hurwiczs, Eric Maskin, Rogery Myerson: Asymmetric information and economic institutions, [3] Nobel 2006, Edmund Phelps: Inflation and Unemployment, [4] Nobel 2004, Finn Kydland, Edward Prescott: Contribution to Dynamic of Macroeconomics: the time consistency of Economic Policy and the Driving Forces behind Business Cycles, [5] Nobel 2001, George Akerlof, Michael Spence, Joseph Stiglitz: Market with Asymmetric Information, [6] Nobel 1998, Amartya Sen: Welfare Economics, [7] Nobel 1994, John F. Nash, John Harsanyi, and Reinhart Selton, [8] Nobel 1977, Bertil Ohlin, James Meade: Theory of International Trade and International Capital Movements.

[-] Laporan “UN Reform”: {1] Report of Millenium Project to UN Secretary General, Investing in Development, A Practical Plan to Achieve the Millenium Development Goals (2005), [2] Report of UN High-Level Panel on Threats, Challenges, and Change to UN Secretary-General, a More Secure World: Our Shared Responsibility (2004), [3] UN Secretary-General Respond to Report of UN High-Level Panel on Threats, Challenges, and Change: In Larger Freedom: Towards Development, Security, and Human Rights for All (2005)

[-] Rujukan pada Regulation Economics Perancis, dan model ekonomi Skandinavia

[-] Buku “End of Poverty: Economic Possibilities for Our Time” (2005), dan karya lain Jeffrey D. Sachs.

[-] Riset tim terdahulu, terutama “Negara Kesejahteraan dan Globalisasi” (2007)


Kerangka waktu: Kertas kerja ini mengandaikan kerangka waktu yang terbuka (open-ended). Kertas kerja ini juga bersifat prospektif, yaitu tidak sekali jadi, dan akan terus diperbaharui.

Tampilan: Kertas kerja kemungkinan akan ditampilkan dalam blogspot secara tersendiri

Kepesertaan: Kertas kerja dibuka untuk dilibati, terutama oleh partisipan kursus putaran pertama.